Awal
masuknya Islam di Sulawesi Selatan
Jejak
Islam di Sulawesi Selatan, Tosora-Kabupaten.Wajo, Jejak Syeikh Jamaluddin
Al-Akbar Al-Husaini
Sejarah
masuknya Islam di Sulawesi Selatan hampir pasti selalu dikaitkan dengan
datangnya tiga ulama dari Minangkabau; Datuk ri Bandang, Datuk ri Tiro dan
Datuk ri Patimang. Ini dapat dimaklumi karena titik pijaknya adalah ketika
Islam secara resmi diakui sebagai agama negara oleh kerajaan Gowa. Kalau ini
dijadikan dasar pijakan, maka Islam datang ke Sulawesi Selatan pada tahun 1605
setelah kedatangan tiga orang ulama tersebut.
Tetapi kalau titik pijaknya adalah
kedatangan para sayyid atau cucu turunan dari nabi maka jejak-jejak keislaman
di Sulawesi Selatan sudah ada jauh sebelum itu yaitu pada tahun 1320 dengan
kedatangan sayyid pertama di Sulawesi Selatan yakni Syeikh Jamaluddin al-Akbar
Al-Husaini.
Siapa Jamaluddin al-Akbar
al-Husaini? Dia adalah cucu turunan Nabi atau ahl al-bayt yang pertama kali
datang ke Sulawesi Selatan. Dia juga merupakan kakek kandung dari empat ulama
penyebar Islam di Jawa yang lebih dikenal dengan wali songo yaitu Sayyid
Maulana Malik Ibrahim, Sayyid Ainul Yaqin atau Sunan Giri, Sayyid Raden
Rahmatullah atau Sunan Ampel dan Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati.
Seperti dijelaskan oleh salah
seorang ulama yang tergabung dalam Rabithatul Ulama (RU), cikal bakal NU di
Sulawesi Selatan, KH. S. Jamaluddin Assagaf dalam bukunya, Kafaah dalam
Perkawinan dan Dimensi Masyarakat Sulsel bahwa Jamaluddin Al-Akbar Al-Husaini
datang dari Aceh atas undangan raja Majapahit, Prabu Wijaya. Setelah menghadap
Prabu Wijaya, ia beserta rombongannya sebanyak 15 orang kemudian melanjutkan
perjalanannya ke Sulawesi Selatan, tepatnya di Tosora kabupaten Wajo melalui
pantai Bojo Nepo kabupaten Barru. Kedatangan Jamaluddin Al-Akbar
Al-Husaini di Tosora Wajo diperkirakan terjadi pada tahun 1320. Tahun ini
kemudian dianggap sebagai awal kedatangan Islam di Sulawesi Selatan.
Kiyai Jamaluddin lalu mengutip
keterangan dari kitab Hadiqat al-Azhar yang ditulis Syekh Ahmad bin Muhammad
Zain al-Fattany, mufti kerajaan Fathani (Malaysia) bahwa dari isi daftar yang
diperoleh dari Sayyid Abd. Rahman al-Qadri, Sultan Pontianak dinyatakan bahwa
raja di negeri Bugis yang pertama-tama masuk Islam bernama La Maddusila dia
adalah raja ke 40 yang memerintah pada tahun 800 H/1337 M. Sayangnya tidak
dijelaskan di daerah Bugis mana dia memerintah dan siapa yang mengislamkan.
Namun penulis kitab tersebut menduga bahwa tidaklah mustahil bila yang
mengislamkan raja yang dimaksud adalah Syeikh Jamaluddin Al-Akbar Al-Husaini.
Mengingat kedatangan ulama tersebut di daerah Bugis persis dengan masa
pemerintahan raja itu. (KH. S. Jamaluddin Assagaf, tt: 26).
Keterangan serupa juga diberikan
oleh Abdurrahman Wahid atau Gus Dur bahwa sebelum para wali songo yang dipimpin
oleh Sunan Ampel menduduki Majapahit, Syeikh Jamaluddin Al-Akbar
Al-Husaini yang mula-mula tinggal di daerah Cepu Bojonegoro telah lebih dulu
masuk ke ibukota Majapahit dan kemudian mendapat tanah perdikan. Dengan
kemampuan yang tinggi dalam mengorganisasikan pertanian, Syeikh Jamaluddin
Al-Akbar Al-Husaini berhasil menolong banyak orang Majapahit yang akhirnya
masuk Islam. Dari situ ia naik ke gunung Kawi. Kemudian melanjutkan
perjalanannya ke Sengkang, ibukota kabupaten Wajo saat ini (Abdurrahman Wahid,
1998: 161).
Lalu mengapa nama Syeikh
Jamaluddin Al-Akbar Al-Husaini tak pernah ditemukan jejaknya dalam sejarah.
Padahal perannya cukup penting dalam proses Islamisasi di Sulawesi Selatan.
Bahkan sebelum para wali songo menyebarkan Islam di Jawa, Syeikh
Jamaluddin Al-Akbar Al-Husaini telah memulainya dan konon wali songo sempat
berguru kepadanya. Nah, ketika Datuk ri Bandang hendak memenuhi undangan raja
Gowa untuk menyebarkan Islam di kerajaannya, terlebih dahulumeminta
pertimbangan gurunya Sayyid Ainul Yaqin atau Sunan Giri. Sang guru tentu saja
gembira mengingat agama Islam telah dibawa lebih dahulu oleh
kakeknya, Syeikh Jamaluddin Al-Akbar Al-Husaini pada tahun 1320 M di
daerah Bugis Sulawesi Selatan (KH. Jamaluddin, op. cit: 31).
Boleh jadi karena Syeikh
Jamaluddin Al-Akbar Al-Husaini tidak pernah bersentuhan langsung dengan
kerajaan Gowa-Tallo yang diketahui merupakan salah satu kerajaan yang terbesar
saat itu di Sulawesi Selatan sehingga proses Islamisasi di Sulawesi Selatan
tidak dikaitkan dengan dirinya. Yang jelas, sejarah Islamisasi di Sulawesi
Selatan sesungguhnya tidaklah tunggal.
Yang menarik kemudian, dalam
beberapa versi “resmi” tentang masuknya Islam di kerajaan Gowa-Tallo disebutkan
bahwa sebelum Datuk ri Bandang tiba di Tallo, raja Tallo Sultan Abdullah
diberitakan telah memeluk Islam dan yang mengislamkan adalah nabi sendiri.
Konon nabi menampakkan dirinya dan menemui Sultan Abdullah. Nabi lalu
menuliskan kalimat syahadatain lalu meminta kepada sang raja untuk
memperlihatkan kepada tamunya yang datang dari jauh. Setelah tamunya datang ke
Tallo, Sultan pun menemui tamu itu yang tak lain adalah Datuk ri Bandang. Dia
lalu memperlihatkan tulisan yang ada di tangannya kepada tamunya. Tamu itu pun
heran. Ternyata, Islam sudah ada di sini sebelum kami datang, kata sang tamu.
Lalu raja mengisahkan hal ihwal pertemuannya dengan nabi. Karena itu, ada
ungkapan yang berbunyi mangkasaraki nabbiya. Ungkapan tersebut menyatakan bahwa
nabi telah menampakkan dirinya di Makassar. Dan asal-usul dinamakannya daerah
ini dengan Makassar besar kemungkinan dari ungkapan tersebut. Sayangnya oleh
beberapa sejarawan seperti J. Noorduyn yang menulis tentang Islamisasi di
Makassar, cerita ini dianggap dongeng dan harus berhati-hati mengutipnya
(Noorduyn, 1972: 31).
Ini kemudian menjadi menarik karena
bukan sekedar perbedaan pendapat mengenai sejarah Islamisasi di Nusantara atau
Sulawesi Selatan secara khusus. Tapi bagaimana akar polarisasi keberagamaan
sampai pada nalar agama, itu bisa dilacak dari proses islamisasi itu. Misalnya,
ada perbedaan model dakwah yang dikembangkan oleh Syeikh Jamaluddin
Al-Akbar Al-Husaini dengan Datuk ri Bandang dkk. Ketika tiba di Tosora Wajo,
dia dan para pengikutnya justru tidak mendakwahkan Islam. Syeikh
Jamaluddin Al-Akbar Al-Husaini justru mengadakan pencak silat secara tertutup
dengan para pengikutnya. Masyarakat sekitar pun ingin mengetahui pertemuan apa
gerangan yang diadakan tiap sore itu. Akhirnya tersiarlah kabar bahwa yang
dilakukan tamu-tamu itu adalah permainan langka yang dalam bahasa Bugis berarti
suatu permainan gerakan yang bisa menjadi pembelaan diri bila mendapatkan
serangan musuh. Karena yang memainkan permainan langka itu orang Arab
(keturunan Arab) sehingga masyarakat setempat menamainya dengan langka arab.
Masyarakat pun kemudian memohon
menjadi anggota agar dapat ikut dalam permainan langka itu. Karena permainan
latihan berlanjut hingga malam hari, selepas magrib, Syeikh Jamaluddin
Al-Akbar Al-Husaini dan rombongannya shalat. Masyarakat setempat yang ikut
latihan juga turun shalat meskipun sekedar sebagai latihan. Meskipun pada
akhirnya peserta latihan itu banyak yang mengucapkan syahadatain.
Belakangan, arena latihan yang
bernama langka arab menjadi langkara. Kata ini yang kemudian menjadi langgara,
lalu berubah menjadi mushallah dan masjid. (KH. Jamaluddin, op. cit: 28).
Berbeda dengan Datuk ri Bandang dkk, ketika datang ke Makassar, sistem dakwah
yang dikembangkan selain mengajarkan syahadatain mereka langsung mengajarkan
sembahyang lima waktu, puasa ramadhan dan melarang perbuatan dosa besar seperti
zina, menyembah berhala, membunuh, mencuri dan minum khamar. Dua tahun setelah
kedatangan Datuk ri Bandang dkk diadakanlah shalat jum’at di masjid kerajaan
Tallo setelah diumumkannya oleh raja Gowa bahwa agama Islam adalah agama resmi
yang dianut kerajaan. (Ibid: 35). Islam yang dikembangkan oleh Datuk ri Bandang
dkk inilah yang di kemudian hari lekat dengan negara. Dan memang dalam sejarah
mainstream, hampir semua penyebar atau pendakwah Islam dekat dengan kerajaan.
Wali songo pun sangat akrab dengan kerajaan.
Datuk ri Bandang, Datuk ri Tiro dan Datuk ri Patimang adalah orang-orang yang
akrab dengan kerajaan. Karena itu, dapat dimaklumi kalau nalar keislaman yang
dikembangkan oleh para pengikutnya adalah nalar-nalar negara. Jadi agama ya
sekaligus negara. Dan nalar keislaman yang dikembangkan ini yang nantinya
melahirkan nalar atau praktik keagamaan yang formalistik dan “tidak ramah” pada
budaya setempat. Bahkan hancurnya beberapa aliran tarekat diduga karena dibabat
habis oleh tokoh agama yang mengembangkan nalar formalistik yang berkolaborasi
dengan kekuasaan.
Lain halnya dengan yang dikembangkan
oleh Syeikh Jamaluddin Al-Akbar Al-Husaini atau yang seperti beliau. Hampir
semua penganjur Islam model terakhir ini menjaga jarak dengan kekuasaan. Mereka
pun tidak mendapat ruang dalam sejarah. Mereka adalah orang-orang yang sesat.
Lihat saja bagaimana Hamzah Fansuri yang dianggap sesat oleh Ar-Raniri karena
dianggap menyebarkan paham wihdatul wujud. Hak serupa dialami Siti Jenar, Syekh
Mutamakkin dsb. Mereka adalah orang yang dianggap sesat oleh ulama-ulama
kerajaan saat itu. Begitu pun di Sulawesi Selatan. Sebutlah misalnya Latola
seorang wali di Desa Samaenre Pinrang, kecamatan Mattiro Sompe, yang bergelar
Ipua Walie Pallipa Putewe Matinroe Massiku’na (Tuan Wali yang Bersarung Putih
Dan Yang Tidur dengan berbaring pada sikutnya), oleh orang-orang luar dianggap
sebagai biang keladi kemusyrikan dan bid’ah di desa tersebut. Padahal dia
penganjur Islam yang justru dianggap wali oleh penduduk setempat. Atau Syeikh
Jamaluddin Al-Akbar Al-Husaini yang sama sekali tidak dikenal dalam sejarah
sebagai penganjur Islam. Padahal, perannya sangat vital karena tokoh ini adalah
penyebar Islam generasi pertama. Tidak hanya di Sulawesi Selatan tapi justru
wali songo pernah berguru kepadanya.
Ada yang menarik dari proses
islamisasi di Luwu. Sebelum Datuk ri Patimang sampai di Luwu untuk mengislamkan
raja Luwu, dia lebih dahulu singgah di daerah Bua. Di daerah itu, Datuk ri
Patimang mengadakan singkarume atau dialog tentang Islam dengan Madika Bua
Tandi Pau, pemimpin adat daerah Bua dan beberapa anggota hadat lainnya. Dalam
singkarume itu Madika Bua memberikan pertanyaan-pertanyaan kritis tentang apa
itu Islam. Bahkan Madika Bua mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang sebenarnya oleh
Datuk ri Patimang dianggap pertanyaan waliyullah tingkat ketiga.
Akhirnya Datuk Sulaiman atau Datuk
ri Patimang mengakui bahwa Madika Bua sesungguhnya telah Islam. Setelah dialog,
Madika Bua dan Datuk ri Patimang saling uji kesaktian dan tidak satu pun ada
yang kalah atau menang. Tapi pada akhirnya Madika Bua mau mengucapkan
syahadatain dan mengikuti Datuk ri Patimang. Setelah Madika Bua mengucapkan
syahadatain, barulah Madika Bua bersama Datuk ri Patimang menghadap ke raja
Luwu untuk mengislamkan raja Luwu. Nah, jangan-jangan, Madika Bua mendapatkan
pengetahuan keislamannya dari Syeikh Jamaluddin Al-Akbar Al-Husaini.
Penulis: Asriyadi Khamis Bintang